Rabu, 24 Februari 2016

Dongeng Geologi : Tanjung Bumi - Pamekasan

Halo! Kali ini aku mau meng-upload sesuatu yang agak serius. Yap. Aku bakal menceritakan bagaimana sih suatu daerah bisa terbentuk hingga seperti sekarang ini. Kali ini aku akan memilih tempat tinggal orang tuaku saat ini, yaitu Pamekasan.

Pamekasan adalah salah satu kota di Pulau Madura. Jika ditempuh dari Surabaya memerlukan waktu sekitar 3 jam perjalanan lho! Daerahnya, panas-panas gitu deh.

Gambar di atas adalah peta geologi lembar Tanjung Bumi – Pamekasan yang diambil dari Pusat Studi Geologi. Peta di atas punya skala 1:100.000. Maksudnya apa? Jadi 1 cm di peta menggambarkan 100.000 cm di lapangan. Peta Geologi, menggambarkan batuan apa saja yang saat ini tersingkap di permukaan.

Oke, bersiap ya.

Pada awalnya daerah pada peta merupakan lingkungan laut dangkal. Ditunjukkan dengan diendapkan batulempung bersisipan batupasir, batugamping, dan konglomerat. Formasi ini dinamakan Formasi Tawun dan diendapkan pada awal kala Miosen Tengah. Lalu muka air laut mengalami penurunan pada pertengahan kala Miosen Tengah. Hal ini ditunjukkan dengan ukuran butir pada Formasi Ngrayong yang berubah menjadi batupasir. Lingkungan pengendapan formasi Ngrayong masih merupakan lingkungan laut dangkal.

Pada akhir kala Miosen Tengah air laut mengalami penaikan dan kemungkinan hampir tidak ada supply silisiklastik. Perselingan batugamping dan napal terbentuk di bagian utara saja dan tidak ada batas erosi dengan formasi Ngrayong. Formasi ini dinamakan Formasi Bulu. Pada kala Miosen Akhir terendapkan napal pasiran dengan batugamping lempungan dan batugamping pasiran secara berseling yang dinamakan Formasi Pasean.

Pada ¾ dari kala Miosen Akhir, muka air laut mengalami penurunan dan menyingkapkan Formasi Pasean. Hal ini mengakibatkan formasi Pasean tererosi (kecuali bagian timur). Pada akhir kala Miosen Akhir sampai Pliosen, muka air laut mengalami kenaikan dan diendapkan batugamping pasiran dengan sisipan napal dan batugamping terumbu pejal. Formasi ini dinamakan Formasi Madura.

Pada kala Pleistosen, air laut mengalami penurunan drastis sehingga menyingkapkan daerah tersebut menjadi daratan. Batas atas formasi Madura tererosi dan terendapkan batulempung, batupasir kuarsa dan konglomerat. Formasi ini dinamakan Formasi Pamekasan.

Pada akhir kala Pleistosen, daerah ini mengalami tektonik cenderung arah utara-selatan yang mengakibatkan perlipatan dan terbentuknya Pulau Madura. Pada kala holosen terendapkan endapan alluvium dan terumbu koral.

Nah, begitu deh dongengnya bagaimana daerah pamekasan bisa terbentuk. Pusing ya? Yaa that’s geologist’s work. Memodelkan apa yang tidak tersingkap di dalam bumi untuk diambil manfaatnya. Kalau ada yang salah atau ada yg mau ditanyakan sila komen di bawah.

Geologi? Sampai Mati

Selasa, 16 Februari 2016

Setitik Embun di Pipi Eliana


Eliana, begitu panggilannya. Eliana adalah gadis mungil yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Ngayog. Eliana merantau untuk menempuh sekolah yang begitu ia idamkan.

Suatu saat, Eliana tak sengaja bertemu dengan seseorang. Edger, adalah orang yang ia temui tatkala ia sedang mengikuti kegiatan pelatihan di sekolahnya. Awalnya Eliana tidak merasa apapun saat bertemu dengan Edger. Tapi entah mengapa Eliana menangkap suatu sinyal yang mungkin hanya dijelaskan dengan bahasa kalbu.

Edger pun perlahan mulai mendekati Eliana. Perlahan namun pasti, Edger terus mendekati Eliana hingga pada akhirnya Edger mengutarakan maksud dan isi hatinya.

“Eliana, aku begitu mencintaimu. Aku ada niat baik kepadamu, aku ingin ke rumahmu, menemui ayahmu. Namun apalah daya. Kita masih harus menyelesaikan sekolah ini, Eliana. Kita harus menyelesaikan tanggung jawab kita terlebih dahulu.”

Eliana terkejut. Belum lama ia mengenal Edger, namun Edger langsung mengutarakan isi hati dan visi hidupnya dengan jelas dan pasti. Eliana merasa ragu. Bagaimana bisa, orang yang baru ia kenal, sudah memiliki angan setinggi angkasa dan mau berjuang untuk gadis serendah palung mariana.

Hari demi hari, Eliana banyak menghabiskan waktu bersama Edger. Di setiap pertemuan, pada akhirnya rasa Eliana terhadap Edger semakin bertambah. Eliana semakin cinta kepada Edger. Eliana semakin yakin bahwa Edger akan menuntun dia menuju-Nya.

Suatu saat, Eliana dan Edger membuat janji untuk bertemu. Mereka sudah menentukan tepat pukul 7 malam pada hari itu di sebuah café di pinggir kota. Sore itu kota Ngayog diguyur hujan cukup deras dengan konstannya.

“Aku sedikit telat ya”. ujar Edger
“Baiklah”.

Petang itu, Eliana memutuskan menghabiskan waktu petangnya di Mushala sekolahnya sambil menunggu Edger. Sore itu Eliana merasa sangat syahdu dengan suasana mushala tak berpintu itu. Tenang, serasa dekat sekali dengan Allah. Eliana merasakan jiwa yang begitu damai, serasa Allah begitu dekat dengannya petang itu.

Jam dinding berdetak, hingga waktu menunjukkan sudah pukul 7. Eliana pun bergegas menuju tempat dimana ia membuat janji dengan Edger. Di perjalanan, ia melihat mata air. Sesaat Eliana mengambil air itu dan menyimpan ke botol untuk bekal di perjalanan.

Tak lama setelah itu, Edger mengirim pesan singkat kepada Eliana.

“Aku tak menemukan tempatnya. Kamu dimana, El?”
“Aku masih di sekitar sekolah”
“Yaampun kita kan janjian jam 7. Kenapa kamu tidak menunggu di tempat kita janjian? Aku sudah hujan-hujan-an dan kukebut sepedaku sekencang-kencangnya agar telatku tak membuatmu menunggu lama, sedang ternyata kamu masih di sana? Sudahlah, ku sudah malas! Kita batalkan saja!”

Eliana tersentak. Hatinya langsung bermendungan bak langit yang menitikkan air matanya malam itu. Dikayuhnya sepedanya sekencang-kencangnya agar Edger tak larut dalam marahnya. Begitu terburu-buru, hingga Eliana hampir menabrak gerobak tua penjual nasi.

Sesampainya di café, Eliana langsung memarkirkan sepedanya dan berjalan menuju tempat Edger duduk. Tak berani Eliana memandangnya karena begitu takut dan sedih. Runyam. Seakan Eliana adalah tersangka paling bersalah di bumi saat itu. Suasana hatinya sangat tidak karuan.

Tak berapa lama mereka terdiam, Edger langsung menawarkan minuman kepada Eliana. Eliana hanya mengangguk. Edger mengajak obrol Eliana dengan suara yang tidak sama sekali menunjukkan bahwa ia sedang marah. Ia jelaskan peristiwa yang baru saja mereka alami dengan halus. Eliana hanya tertunduk. Dan seketika Edger mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Mawar.

Edger memberikan Eliana setangkai bunga mawar berwarna peach. Edger menembus badai hanya demi mendapatkan setangkai kesukaan Eliana. Eliana terharu. Tapi ia tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya kepada Edger. Mengapa Edger terlalu baik untuk Eliana, pikirnya.

Sepanjang percakapan Edger terus mengajak obrol Eliana untuk menenangkan suasana. Namun Eliana tetaplah Eliana. Ia tetap tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya kepada Edger. Dan hampir saja Eliana menitikkan embun di pipinya.

Satu jam berlalu, dan Edger pun harus kembali ke rumahnya untuk menjalankan agenda rutin. Eliana tetap tidak bisa menghilangkan wajah sedihnya. Ketika mengayuh sepedanya, Ia terpikirkan sesuatu. Eliana seakan teringat memori beberapa tahun silam saat ia masih bersekolah dasar.

Ibu dan ayah Eliana dahulu menikah muda. Sebagai anak pertama, Eliana dididik dengan keras. Ia sering dimarahi, dihukum, dan tak jarang ia melihat pertengkaran antara ayah dan ibunya. Eliana sering menangis saat kecil. Entah karena dimarahi orang tuanya, atau sekedar diganggu oleh teman-temannya.

Eliana tersadarkan, mungkin masa kecil itulah yang membuat Eliana se-melankolis itu. Ia dibesarkan dengan didikan orang tuanya yang begitu keras. Dan ia dibiarkan mempunyai kebiasaan menangis saat ia tak mampu mengontrol emosinya. Kita tidak bisa menyalahkan masa lalu, karena ia tetap akan tinggal pada yang lalu. Padahal Eliana sudah dewasa, harusnya Eliana bisa belajar.

Eliana pun sadar, bahwa memang perilakunya terhadap Edger salah. Tidak terbatas pada Edger, Eliana takut sikapnya itu akan berdampak ke orang lain yang mungkin tidak akan se-frontal Edger dalam mengungkapkannya.


Eliana, tidak ingin kehilangan orang yang sudah disayang Allah dan dipilihkan untuknya.

Sabtu, 30 Januari 2016

Titik Balik sebuah Kebiasaan Lama


Postingan di atas saya pos di akun line saya pada bulan November 2015 silam. Siapa yang sangka, tulisan pertama saya yang berlandaskan azas keisengan itu berhasil meraup like yang hampir mencapai 1000 orang!

Sore itu, saya sedikit terburu-buru menaiki kereta karena saya makan terlebih dahulu di salah satu tempat makan di stasiun. Memasuki gerbong, suasana kereta persis sebagaimana yang saya ceritakan pada postingan saya di atas. Entah bisikan dari mana yang sedang mengilhami saya, tiba-tiba saya tergerak untuk menuliskan apa yang saya amati sore itu.

Saya menuliskan apa yang saya rasakan dengan penuh haru! Bahkan saat saya belum selesai menulis, ada saja hal-hal menakjubkan yang memperindah cerita yang saya tulis di postingan tersebut. Setelah semua yang saya rasakan selesai saya tulis, saya sesegera mungkin mengepost tulisan saya ke timeline. Dalam hitungan detik, postingan saya sudah di like oleh banyak orang! Alhamdulillah :”)

Senang rasanya membagi kebahagiaan yang saya dapat sore itu ke banyak orang. Saya ingin semua orang tahu, bahwa bahagia bisa didapatkan sesederhana mensyukuri hikmah yang bisa kita tangkap. :”)
Tidak hanya sebatas like pada postingan saya, apresiasi datang dari guru sekolah yang duduk di kursi depan kursi saya.

“Mbak, Mbak yang nulis ini ya? *menunjukkan HP nya*”
“Hehe, Iya Bu”
“Mbaknya penulis ya?”
“Wah engga kok Bu. Ini cuma iseng tadi”
“Kapan-kapan boleh loh kalo main ke Depok mengisi kelas Inspirasi untuk anak SD ini. Biasanya dilakukan di hari senin”.
“Oh Iya Bu kapan-kapan ya”.

Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan? :”)

Saya begitu bahagia sore itu. Bahagiaa sekali. Seakan semangat untuk membagi pengalaman yang saya dapat dengan tulisan meningkat drastis. Ada sesuatu yang merasuk ke jiwa saya. Ya, saat itulah titik dimana saya mulai semangat lagi untuk menulis. Namun saya memilih platform line sebagai media saya menuangkan tulisan. Maka dari itu, blog saya sepi ya? Hehe

“Menulis bermakna lebih dari sekedar menuangkan kata-kata indah pada setiap halamannya.
Seni dari menulis ialah membagikan seluruh jiwamu, rasamu, kepada dunia” –anonim-


Selamat datang kembali, kebiasaan lama J