Eliana, begitu panggilannya. Eliana adalah gadis mungil yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Ngayog. Eliana merantau untuk menempuh sekolah yang begitu ia idamkan.
Suatu saat, Eliana tak sengaja bertemu dengan seseorang.
Edger, adalah orang yang ia temui tatkala ia sedang mengikuti kegiatan
pelatihan di sekolahnya. Awalnya Eliana tidak merasa apapun saat bertemu dengan
Edger. Tapi entah mengapa Eliana menangkap suatu sinyal yang mungkin hanya
dijelaskan dengan bahasa kalbu.
Edger pun perlahan mulai mendekati Eliana. Perlahan namun
pasti, Edger terus mendekati Eliana hingga pada akhirnya Edger mengutarakan
maksud dan isi hatinya.
“Eliana, aku begitu
mencintaimu. Aku ada niat baik kepadamu, aku ingin ke rumahmu, menemui ayahmu.
Namun apalah daya. Kita masih harus menyelesaikan sekolah ini, Eliana. Kita
harus menyelesaikan tanggung jawab kita terlebih dahulu.”
Eliana terkejut. Belum lama ia mengenal Edger, namun Edger
langsung mengutarakan isi hati dan visi hidupnya dengan jelas dan pasti. Eliana
merasa ragu. Bagaimana bisa, orang yang baru ia kenal, sudah memiliki angan
setinggi angkasa dan mau berjuang untuk gadis serendah palung mariana.
Hari demi hari, Eliana banyak menghabiskan waktu bersama
Edger. Di setiap pertemuan, pada akhirnya rasa Eliana terhadap Edger semakin
bertambah. Eliana semakin cinta kepada Edger. Eliana semakin yakin bahwa Edger
akan menuntun dia menuju-Nya.
Suatu saat, Eliana dan Edger membuat janji untuk bertemu.
Mereka sudah menentukan tepat pukul 7 malam pada hari itu di sebuah café di
pinggir kota. Sore itu kota Ngayog diguyur hujan cukup deras dengan konstannya.
“Aku sedikit telat ya”.
ujar Edger
“Baiklah”.
Petang itu, Eliana memutuskan menghabiskan waktu petangnya
di Mushala sekolahnya sambil menunggu Edger. Sore itu Eliana merasa sangat
syahdu dengan suasana mushala tak berpintu itu. Tenang, serasa dekat sekali dengan
Allah. Eliana merasakan jiwa yang begitu damai, serasa Allah begitu dekat
dengannya petang itu.
Jam dinding berdetak, hingga waktu menunjukkan sudah pukul 7.
Eliana pun bergegas menuju tempat dimana ia membuat janji dengan Edger. Di
perjalanan, ia melihat mata air. Sesaat Eliana mengambil air itu dan menyimpan
ke botol untuk bekal di perjalanan.
Tak lama setelah itu, Edger mengirim pesan singkat kepada
Eliana.
“Aku tak menemukan
tempatnya. Kamu dimana, El?”
“Aku masih di sekitar
sekolah”
“Yaampun kita kan
janjian jam 7. Kenapa kamu tidak menunggu di tempat kita janjian? Aku sudah
hujan-hujan-an dan kukebut sepedaku sekencang-kencangnya agar telatku tak
membuatmu menunggu lama, sedang ternyata kamu masih di sana? Sudahlah, ku sudah
malas! Kita batalkan saja!”
Eliana tersentak. Hatinya langsung bermendungan bak langit
yang menitikkan air matanya malam itu. Dikayuhnya sepedanya
sekencang-kencangnya agar Edger tak larut dalam marahnya. Begitu terburu-buru,
hingga Eliana hampir menabrak gerobak tua penjual nasi.
Sesampainya di café, Eliana langsung memarkirkan sepedanya
dan berjalan menuju tempat Edger duduk. Tak berani Eliana memandangnya karena
begitu takut dan sedih. Runyam. Seakan Eliana adalah tersangka paling bersalah
di bumi saat itu. Suasana hatinya sangat tidak karuan.
Tak berapa lama mereka terdiam, Edger langsung menawarkan
minuman kepada Eliana. Eliana hanya mengangguk. Edger mengajak obrol Eliana
dengan suara yang tidak sama sekali menunjukkan bahwa ia sedang marah. Ia
jelaskan peristiwa yang baru saja mereka alami dengan halus. Eliana hanya
tertunduk. Dan seketika Edger mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Mawar.
Edger memberikan Eliana setangkai bunga mawar berwarna
peach. Edger menembus badai hanya demi mendapatkan setangkai kesukaan Eliana.
Eliana terharu. Tapi ia tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya kepada Edger.
Mengapa Edger terlalu baik untuk Eliana, pikirnya.
Sepanjang percakapan Edger terus mengajak obrol Eliana untuk
menenangkan suasana. Namun Eliana tetaplah Eliana. Ia tetap tidak bisa
menghilangkan rasa bersalahnya kepada Edger. Dan hampir saja Eliana menitikkan
embun di pipinya.
Satu jam berlalu, dan Edger pun harus kembali ke rumahnya untuk menjalankan agenda rutin. Eliana tetap tidak bisa menghilangkan wajah
sedihnya. Ketika mengayuh sepedanya, Ia terpikirkan sesuatu. Eliana seakan
teringat memori beberapa tahun silam saat ia masih bersekolah dasar.
Ibu dan ayah Eliana dahulu menikah muda. Sebagai anak
pertama, Eliana dididik dengan keras. Ia sering dimarahi, dihukum, dan tak
jarang ia melihat pertengkaran antara ayah dan ibunya. Eliana sering menangis saat
kecil. Entah karena dimarahi orang tuanya, atau sekedar diganggu oleh
teman-temannya.
Eliana tersadarkan, mungkin masa kecil itulah yang membuat
Eliana se-melankolis itu. Ia dibesarkan dengan didikan orang tuanya yang begitu
keras. Dan ia dibiarkan mempunyai kebiasaan menangis saat ia tak mampu
mengontrol emosinya. Kita tidak bisa menyalahkan masa lalu, karena ia tetap
akan tinggal pada yang lalu. Padahal Eliana sudah dewasa, harusnya Eliana bisa
belajar.
Eliana pun sadar, bahwa memang perilakunya terhadap Edger
salah. Tidak terbatas pada Edger, Eliana takut sikapnya itu akan berdampak ke
orang lain yang mungkin tidak akan se-frontal Edger dalam mengungkapkannya.
Eliana, tidak ingin
kehilangan orang yang sudah disayang Allah dan dipilihkan untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mengomentari! ;)