Selasa, 16 Februari 2016

Setitik Embun di Pipi Eliana


Eliana, begitu panggilannya. Eliana adalah gadis mungil yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Ngayog. Eliana merantau untuk menempuh sekolah yang begitu ia idamkan.

Suatu saat, Eliana tak sengaja bertemu dengan seseorang. Edger, adalah orang yang ia temui tatkala ia sedang mengikuti kegiatan pelatihan di sekolahnya. Awalnya Eliana tidak merasa apapun saat bertemu dengan Edger. Tapi entah mengapa Eliana menangkap suatu sinyal yang mungkin hanya dijelaskan dengan bahasa kalbu.

Edger pun perlahan mulai mendekati Eliana. Perlahan namun pasti, Edger terus mendekati Eliana hingga pada akhirnya Edger mengutarakan maksud dan isi hatinya.

“Eliana, aku begitu mencintaimu. Aku ada niat baik kepadamu, aku ingin ke rumahmu, menemui ayahmu. Namun apalah daya. Kita masih harus menyelesaikan sekolah ini, Eliana. Kita harus menyelesaikan tanggung jawab kita terlebih dahulu.”

Eliana terkejut. Belum lama ia mengenal Edger, namun Edger langsung mengutarakan isi hati dan visi hidupnya dengan jelas dan pasti. Eliana merasa ragu. Bagaimana bisa, orang yang baru ia kenal, sudah memiliki angan setinggi angkasa dan mau berjuang untuk gadis serendah palung mariana.

Hari demi hari, Eliana banyak menghabiskan waktu bersama Edger. Di setiap pertemuan, pada akhirnya rasa Eliana terhadap Edger semakin bertambah. Eliana semakin cinta kepada Edger. Eliana semakin yakin bahwa Edger akan menuntun dia menuju-Nya.

Suatu saat, Eliana dan Edger membuat janji untuk bertemu. Mereka sudah menentukan tepat pukul 7 malam pada hari itu di sebuah café di pinggir kota. Sore itu kota Ngayog diguyur hujan cukup deras dengan konstannya.

“Aku sedikit telat ya”. ujar Edger
“Baiklah”.

Petang itu, Eliana memutuskan menghabiskan waktu petangnya di Mushala sekolahnya sambil menunggu Edger. Sore itu Eliana merasa sangat syahdu dengan suasana mushala tak berpintu itu. Tenang, serasa dekat sekali dengan Allah. Eliana merasakan jiwa yang begitu damai, serasa Allah begitu dekat dengannya petang itu.

Jam dinding berdetak, hingga waktu menunjukkan sudah pukul 7. Eliana pun bergegas menuju tempat dimana ia membuat janji dengan Edger. Di perjalanan, ia melihat mata air. Sesaat Eliana mengambil air itu dan menyimpan ke botol untuk bekal di perjalanan.

Tak lama setelah itu, Edger mengirim pesan singkat kepada Eliana.

“Aku tak menemukan tempatnya. Kamu dimana, El?”
“Aku masih di sekitar sekolah”
“Yaampun kita kan janjian jam 7. Kenapa kamu tidak menunggu di tempat kita janjian? Aku sudah hujan-hujan-an dan kukebut sepedaku sekencang-kencangnya agar telatku tak membuatmu menunggu lama, sedang ternyata kamu masih di sana? Sudahlah, ku sudah malas! Kita batalkan saja!”

Eliana tersentak. Hatinya langsung bermendungan bak langit yang menitikkan air matanya malam itu. Dikayuhnya sepedanya sekencang-kencangnya agar Edger tak larut dalam marahnya. Begitu terburu-buru, hingga Eliana hampir menabrak gerobak tua penjual nasi.

Sesampainya di café, Eliana langsung memarkirkan sepedanya dan berjalan menuju tempat Edger duduk. Tak berani Eliana memandangnya karena begitu takut dan sedih. Runyam. Seakan Eliana adalah tersangka paling bersalah di bumi saat itu. Suasana hatinya sangat tidak karuan.

Tak berapa lama mereka terdiam, Edger langsung menawarkan minuman kepada Eliana. Eliana hanya mengangguk. Edger mengajak obrol Eliana dengan suara yang tidak sama sekali menunjukkan bahwa ia sedang marah. Ia jelaskan peristiwa yang baru saja mereka alami dengan halus. Eliana hanya tertunduk. Dan seketika Edger mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Mawar.

Edger memberikan Eliana setangkai bunga mawar berwarna peach. Edger menembus badai hanya demi mendapatkan setangkai kesukaan Eliana. Eliana terharu. Tapi ia tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya kepada Edger. Mengapa Edger terlalu baik untuk Eliana, pikirnya.

Sepanjang percakapan Edger terus mengajak obrol Eliana untuk menenangkan suasana. Namun Eliana tetaplah Eliana. Ia tetap tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya kepada Edger. Dan hampir saja Eliana menitikkan embun di pipinya.

Satu jam berlalu, dan Edger pun harus kembali ke rumahnya untuk menjalankan agenda rutin. Eliana tetap tidak bisa menghilangkan wajah sedihnya. Ketika mengayuh sepedanya, Ia terpikirkan sesuatu. Eliana seakan teringat memori beberapa tahun silam saat ia masih bersekolah dasar.

Ibu dan ayah Eliana dahulu menikah muda. Sebagai anak pertama, Eliana dididik dengan keras. Ia sering dimarahi, dihukum, dan tak jarang ia melihat pertengkaran antara ayah dan ibunya. Eliana sering menangis saat kecil. Entah karena dimarahi orang tuanya, atau sekedar diganggu oleh teman-temannya.

Eliana tersadarkan, mungkin masa kecil itulah yang membuat Eliana se-melankolis itu. Ia dibesarkan dengan didikan orang tuanya yang begitu keras. Dan ia dibiarkan mempunyai kebiasaan menangis saat ia tak mampu mengontrol emosinya. Kita tidak bisa menyalahkan masa lalu, karena ia tetap akan tinggal pada yang lalu. Padahal Eliana sudah dewasa, harusnya Eliana bisa belajar.

Eliana pun sadar, bahwa memang perilakunya terhadap Edger salah. Tidak terbatas pada Edger, Eliana takut sikapnya itu akan berdampak ke orang lain yang mungkin tidak akan se-frontal Edger dalam mengungkapkannya.


Eliana, tidak ingin kehilangan orang yang sudah disayang Allah dan dipilihkan untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mengomentari! ;)